Dinginnya suhu bajawa di pagi hari, membuat saya enggan keluar
dari dalam selimut. Tapi alaram
yang terus meraung – raung memaksa saya
menepati janji pada sebuah jadwal yang
sudah tersusun. Jadi dengan berat hati saya harus rela meninggalkan hangatnya selimut.
Hari ini saya dan hendra berencana mengunjungi desa adat yang terkenal di bajawa, yaitu desa adat wogo dan
desa adat Bena. Selain 2 objek wisata tersebut, di bajawa juga masih terdapat
objek wisata lainnya di antaranya pemandian air panas Manggeruda(soa), kawah Wawomuda, dan air terjun Ogi. Namun
karena kami hanya memiliki waktu
setengah hari, jadi kami hanya bisa mengunjungi kampung adat saja.
Sembari menunggu frater selesai ibada, kami sempatkan dulu untuk
sarapan (nyeduh mie instan cup yang kami
bawa). Saat perut sudah terisi dan para frater selesai ibadah kami pun berpamitan dan memberi
sedikit uang sebagai tanda ucapan
terimakasih. Dari biara, kami berjalan kaki
menuju pusat keramaian bajawa (pasar). Jaraknya cukup jauh, tapi tak
apalah hitung – hitung olahraga pagi. Sepanjang jalan kami selalu mendapat
senyuman ramah dan teguran hangat dari warga
bajawa yang sudah siap beraktifitas pagi itu. Satu hal yang sangat saya
suka dari warga flores, mereka begitu ramah tersenyum pada kami. Dan satu hal
yang unik di bajawa ini, karena hampir di setiap halaman rumah terdapat kuburan keluarga yang di hias
dengan ornamen – ornamen yang meriah, dan saat malam tiba kuburan itu di pasang
lilin / lampu (makanya di sini tak ada pemakaman umum).
Inerie |
Sesampainya di pasar, kami mencari
ojek yang akan kami pakai untuk mengunjungi desa adat wogo dan bena. Semua ojek menawarkan harga yang bisa di bilang cukup
jauh dari dana yang kami anggarkan. Mereka meminta bayaran 100-150k / orang
untuk seharian mengantar kami mengelilingi objek wisata di bajawa, atau 60k /
orang untuk mengunjungi desa bena saja. Harga 60k/ orang untuk mengunjung desa
bena saja saya pikir masih cukup mahal, sehingga kami tetap ngotot minta 40k / orang untuk mengunjungi
desa bena. Tapi mereka tetap tidak mau, sampai ahirnya ada satu ojek yang
menawarkan motornya untuk kami pakai, kami hanya perlu membayar 80k untuk setengah hari tanpa sarat apapun ( nama pemilik motornya
pak fredy 081236292370) . Berbekal motor
sewaan dan meminta petunjuk arah dari
pak fredy (saya memintanya untuk
menggambarkan rute dari bajawa ke bena di sebuah kertas), kami melaju meninggalkan kota bajawa
menuju lereng gunung Inerie. Gunung inerie yang nampak agung dengan ujungnya
yang runcing semakin jelas terlihat. Kami melaju menyusuri kaki gunung Inerie
yang di penuhi dengan hutan bambu yang kadang berubah menjadi sebuah pegetasi
semak yang belukar. Udara yang sejuk,
suara-suara kumbang dan angin
yang membelai ringan menemani perjalanan kami ke kampung bena. View perjalanan
menuju bena sangat indah karena kita bisa melihat dengan jelas gunung inerie
yang begitu polos berwarna coklat seolah tak ada tanaman yg tumbuh di kulit
gunung inerie, rimbunnya pepohonan bambu yang berukuran jumbo juga menjadi
pemandangan indah tersendiri, di tambah kelokan , tanjakan dan turunan curam
juga menambah seru perjalanan ini.
I Love Bena... |
Sekitar 1 jam berkendara menyusuri jalan di kaki gunung inerie,
kami sampai di kampung adat bena. Setelah memarkir motor , kami menuju pos
penyambutan tamu untuk menulis daftar kunjungan dan membayar seiklasnya. Di
sana saya cukup kaget melihat jumlah kunjungan turis lokal yang begitu sedikit
jumlahnya jika di banding kunjungan turis mancanegara (data tahun 2011
menunjukan jumlah turis mancanegara mencapai jumlah 2400 sekian sementara turis domestik hanya 300 sekian,
ckckckc). Dari pos, kami mulai berjalan menuju komplek kampung bena, di halaman
kampung ini terdapat biji kopi dan coklat yang sedang di jemur. Berjalan lebih
dalam ke komplek perkampungan, saya melihat deretan rumah-rumah tradisional yang
di hiasi ibu – ibu yang sedang menenun
secara tradisional. Ada juga beberapa warga yang sedang melakukan aktivitas
lain. Yang mencuri perhatian saya adalah anak – anak kampung bena yang begitu
ramah, mereka menyapa turis –turis yang datang dengan senyum dan celoteh yang
hangat seraya tersipu malu – malu, ingin
rasanya membagikan permen pada mereka, tapi sayang saya tidak membawanya (kalau
ke sana bawa sekantung permenya dan bagikan ke mereka, pasti anda akan merasa
senang melihat mereka tertawa riang). Semua warga bena juga sangat ramah,
mereka selalu menyapa dan tersenyum pada setiap pengunjung yang datang (betapa
ramahnya mereka, membuat saya begitu nyaman mengunjungi tempat ini, seolah –
olah saya adalah bagian dari mereka).
Bena |
Di ujung kampung ini terdapat tempat
beribadah mereka (sebuah goa maria). Tak
hanya itu saja, di sini juga terdapat sebuah batu besar yang langsung
berbatasan dengan jurang. View di sini sangat menakjubkan, di sisi jurang kita
bisa melihat hamparan lembah dan barisan gunung , sementara di sisi lain kita
bisa melihat indahnya kampung adat bena dengan deretan rumah tradisionalnya.
Kampung adat bena ini berbentuk seperti sebuah perahu raksasa, karena konon
asal mula desa bena adalah sebuah perahu yang terdampar kemudian lautan di sekitarnya
kering serta berubah menjadi daratan seperti sekarang. Di desa ini juga masih
terdapat meja – meja batu dan batuan megalitik tempat persembahan mereka saat
upacara adat. Saat saya berjalan untuk pulang dan menyusuri bangunan kampung
yang lain, saya bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang di gendong nenek
nya. Dia menyapa saya dengan sangat lantang, karena tertarik saya coba mendekat
dan mengajaknya bercanda. Kami cukup lama bercanda dan kami juga sempat ngobrol
– ngobrol dengan nenek nya. Dari beliaulah saya tahu, kalau warga bena menganut garis kekeluargaan perempuan (Matrilinial). Jadi jika ada anak gadis
mereka yang menikah makan calon suaminya harus ikut tinggal di kampung bena
begitu pun sebaliknya jika anak mereka laki – laki menikah maka anak laki –laki
tersebut harus meninggalkan kampung
bena.Puas melihat –lihat keunikan desa bena, saya putuskan untuk
mengahiri kunjungan saya di desa yang sangat membuat saya begitu nyaman ini.
Tujuan kami selanjutnya adalah kampung adat wogo. Kampung adat wogo letaknya cukup jauh dari kampung adat bena.
Dari kampung adat bena terdapat 2 jalan menuju kampung adat wogo, yaitu dengan
kembali menyusuri jalan yang tadi kita lewati
(jalan ini sedikit memutar) atau menempuh sebuah jalan baru (sebuah
persimpangan jalan sebelum kami sampai di kampung bena). Ahirnya dengan sedikit rasa ragu,
kami memutuskan untuk menempuh jalan
baru menuju wogo, selain ingin menyaksikan ke indahan / sesuatu yang akan kami
lihat di jalan baru ini, kami juga mendapat info kalau jalan ini lebih dekat
ketimbang harus memutar arah menuju jalan yang pertama (info dari pak fredy).
FYI: Dari desa bena berjalanlah ke arah menuju bajawa, tapi nanti jangan
berbelok ke arah kiri saat berada di sebuah pertigaan, melainkan tetap lurus saja
sampai nanti bertemu sebuah jalan raya dan berbeloklah ke arah kanan.
Manu Lalu |
Dari kampung bena kami memacu laju motor kami, melewati hutan dan
semak belukar di sisi – sisi jalan, sampai ahirnya kami hentikan laju motor di
sebuah gerbang bernama “Manu Lalu Panorama”. Tempat ini adalah sebuah view poin
yang mengarak ke lembah dan deretan pegunungan lain (termasuk gunung inerie).
Di sini terlihat desa adat bena yang terdapat di kaki gunung inerie yang nampak
jelas memanjang menyerupai sebuah kapal. Untuk memasuki kawasan ini setiap
orang di kenakan tarif 2k, namun hari itu tak ada orang yang berjaga jadi kami
bisa bebas masuk dengan gratis. Tak hanya kampung bena saja yang terlihat di
sini, tapi juga terlihat jelas beberapa desa tradisional lain (entah apa
namanya dan bagai mana cara ke sana).
Wogo |
Puas menikmati pemandangan di sini, kami
melanjutkan perjalanan kembali, motor kami pacu semakin kencang karean waktu
semakin siang (siang nanti kami akan melakukan perjalanan ke riung denga bis
gemini yang hanya beroprasi sehari sekali yaitu sekitar pukul 12 siang dari
bajawa). Setelah berkendara selama satu jam, kami sampai di desa adat wogo di
daerah mataloko dan di sini kami bertemu dengan jeje,andro dan niuk (teman yang
akan ke riung juga). Desa adat wogo sangat mudah di jangkau dari bajawa dengan
kendaraan umum (angkot), karena desa adat ini berjarak sekitar 500 meter dari
pinggir jalan raya. Tapi saya sangat tidak merekomendasikan desa adat ini,
karena desa ini sudah terlalu moderen untuk di katakan sebuah desa adat, selain
terdapat aliran listrik (tiang listrik
dan kabel –kabelnya memperburuk view kampung ini karena sangat kontras dengan bangunan tradisional di
sini yang terbuat dari kayu dan ilalang kering). Selain itu, warga kampung ini juga sangat matrealistis,hal ini nampak
jelas saat mereka meminta kami mengisi buku tamu (terkesan kami harus membayar
dalam jumlah tertentu meski mereka tak menyebutkan jumlahnya, sangat jauh
berbeda dengan kampung Bena), hal ini membuat saya sangat tak nyaman. Di tambah
lagi saat ada ibu yang terkesan memaksa
kami membeli kerajina tangan yang
dia buat, karena kami sudah menyentuhnya
dan melihat proses pembuatanya (padahal ibu itu yang mengajak kami melihat
pembuatannya dan menyodorkan barang – barang yang dia buat). Jadi jangan sekali
– kali menyentuh / menawar kerajinan yang mereka buat, karena anda akan di
paksa untuk membelinya, dan harganya sangat tidak wajar. Kami tak terlalu lama
di sini karena sudah merasa sangat tidak
nyaman dan kampung di sini juga tak terlalu menarik buat saya (kabel dan tiang
listriknya sangat mengganggu). Kami pun kembali ke bajawa dan menunggu bis yang
akan ke riung.
Sebuah catatan perjalanan yang menakjubkan, informative dan natural, Salam Cinta Alam Indonesia,.... s'moga suatu saat kita bisa berkolaborasi untuk menikmati Indahnya Indonesia dengan backpacker style tentunya.......
BalasHapusthank dah mampir :)
Hapusamin semoga bisa jalan2 brg
Cantik kampung nya .....
BalasHapus(y)
BalasHapusPanorama yang indah, keasliannya masih terpancar itulah kampung Bena.
Semoga tetap terjaga dan terlestarikan keasliannya,
Amin.