Kamis, 18 Oktober 2012

Kembali ke Labuan Bajo




Hari ini  akan menjadi hari yang cukup melelahkan, pasalnya  kami akan menempuh perjalanan panjang melintasi sebagian daratan Flores,dari Ende ke LabuanBajo via darat. Beda seperti perjalanan Labuan Bajo – Ende yang kami tempuh beberapa hari (karena mampir ke beberapa daerah terlebih dahulu), kali ini kami akan melakukan perjalanan panjang itu secara langsung tanpa singgah di kota mana pun.
Pukul  6:30 kami harus cepat – cepat cekout dari penginapan, di depan hotel sudah terparkir  sebuah mobil travel yang menjemput kami. Untuk perjalanan kali ini kami memang senghaja menggunakan mobil travel yang harganya relatif lebih mahal (tapi harganya masih masuk akal) dari mobil elf  yang melayani rute sama. Hal ini kami lakukan semata karna tak ingin menyiksa badan di mobil elf  yang umurnya kebanyakan sudah ujur dan tentu saja tak nyaman dengan barang penumpang yang berjejalan, belum lagi udara yang pengap karena tidak menggunakan penyejuk udara (kebayang dong jika kami harus menggunakan elf ini selama lebih dari 14 jam ). Selain alasan itu, kami juga tak ingin repot haus ke terminal Ndao pagi – pagi untuk menunggu elf yang akan ke Labuan Bajo, belum lagi kami harus bersusah payah menawar harga agar tidak di patok harga tinggi. Nah Jika kami menggunakan travel, kami cukup duduk manis di penginapan dan mobil akan menjemput kami. Hehehe. Ini Travel yang kami gunakan berikut harganya.

Tarif travel Gunung mas


Jadwal, Alamat dan no telpon
Perlahan tapi pasti, mobil mulai meninggalkan kota Ende setelah sebelumnya menjemput beberapa penumpang lain. Hem...rasanya masih kurang waktu yang kami habiskan di kota ini, padahal masih banyak tempat yang ingin saya lihat dan datangi. Tapi semoga suatu saat bisa ke kota ini lagi dan di lanjut ke Kupang dan pulau Rote,, Amin. Di sebelah kiri kami kini terhampar laut luas dengan batuan pantai berwarna kehijauan. Semakin lama, garis pantai semakin memudar dan berubah menjadi daratan berbukit dengan tikungan – tikungan tajam khas daerah pegunungan. Mobil terus melaju, sementara saya sekarang sedang di buai mimpi. Tengah hari kami baru sampai di Bajawa, mobil terus melaju menuju Aimere. Di sini kami semua  berhenti untuk beristirahat di sebuah warung makan padang (padang lagi padang lagi, hehe). Puas mengisi rongga kosong di lambung, kami kembali melanjutkan perjalanan menju Ruteng. Beberapa penumpang turun di Aimere, sementara yang lain masih bersama kami melanjutkan perjalanan ke Ruteng.

Pukul 3.30 sore, kami berdua di turunkan di Ruteng sementara yang lain masih di mobil dan di antarkan ke alamat masing – masing. Awalnya agak kaget kenapa kami di turunkan di ruteng, tapi rupanya kami di turunkan tepat di depat kantor travel ini dan kami harus berganti mobil yang akan ke LabuanBajo (hanya kami berdua yang akan ke Labuan Bajo), mobil yang kami tumpangi tadi ternyata hanya melayani rute Ende-Ruteng. Udara sore hari di Ruteng yang dingin membuat perut kami keroncongan, kami pun mencari warung yang menjual cemilan tak jauh dari kantor travel tersebut. Pukul 4 sore setelah transit selama 30 menit, kami kembali menaiki mobil travel, kali ini dengan mobil yang berbeda dan supir serta penumpang yang berbeda pula. Dari sini kami masih harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 5 jam lagi. Kota Ruteng yang dingin dengan kabut  tipisnya  mulai menjauh. Ada yang menarik di kota ini selain udaranya yang dingin, yaitu sawah – sawah yang berundak seperti di Tegallang, Bali. Jika di tegallalang hanya ada satu, sementara di sini ada lebih dari 3 tempat sawah unik berundak. Selai itu, satu jam dari kota Ruteng, tepatnya di desa Cancar juga terdapat sawah berbentuk seperti jaring laba – laba, nah ini biasanya menjadi salah satu objek wisata yang harus di kunjungi jika menginap di kota Ruteng (sayang kami tak punya waktu untuk menikmati keunikanya). Kota ruteng juga menjadi tempat awal bagi siapa saja yang ingin menikmati keunikan rumah adat  di desa Wae Rebo yang sekarang lagi banyak menyedot perhatian para penjelajah.
Matahari mulai kembali pulang ke peraduanya, sinarnya yang lembut menyapa di balik pepohonan di sepanjang jala,udara dingin masih setia menemani perjalanan kami. Sekitar pukul 7 malam, mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah makan, seluruh  penumpang turun  untuk makan malam (sudah bisa di tebak apa yang kami makan, iya tentu saja masakan P.A.D.A.N.G , hahaha). Mobil kembali melaju lebih cepat, langit semakin gelap, dan semua orang tertidur pulas nampak kelelahan tak terkecuali saya. Saat mobil mulai mendekati LabuanBajo, semua orang di tanyai akan turun di mana, begitu pun kami. Berbekal informasi dari Jeje dan Andro saat di Riung, kami pun mengikuti jejak mereka menginap di penginapan kumuh “Restu Bundo”. Rasanya tidak berlebihan saat saya menyebutnya kumuh, karena keadaannya memang kumuh. Jeje dan Andro juga sudah mewanti – wanti akan keadaan penginapan ini, tapi apa boleh buat. Malam ini  kami tak punya pilihan lain untuk menginap di mana. Badan sudah terlalu cape dan waktu juga sudah larut malam. Harga yang di tawarkan cukup murah yaitu 50k / malam / 2 orang , kamar mandi di luar (ini harga setandar di labuanbajo) . Walaupun kami cekin berdua, tapi hanya saya saja yang tidur di kamar malam itu. Hendra pergi menemui temanya dan menginap di kosanya, sepertinya hendra gak tahan dengan keadaan penginapan ini, hahaha.

***
Bagai manapun kondisi penginapan ini , saya  tetap saja nyenyak tidur malam itu, mungkin karena kecapean atau memang saya yang doyan tidur,hehe. Pagi ini saya keluar kamar dan menyaksikan betapa ramainya di bawah (penginapan restu bundo ini ada di lantai 2 sebuah bangunan toko – toko pasar tradisional). Saya sempatkan melihat ke pasar kecil yang berada persisi di sebelah kiri penginapan, pasar ini lebih mirip sebuah pasar kaget dengan para pedangan yang menggelar daganganya di lapak seadanya, yang di jual di sini cukup lengkap namun di dominasi aneka makana laut kering (ikan asin). Di belakang bangunan ini (yang berbatasan dengan dermaga) juga  terdapat sebuah Tempat pelelangan ikan (TPI) yang sangat ramai pagi itu. Para nelayan bersama perahu – perahunya yang tertambat  sibuk mengangkut hasil melaut. Sementara di darat sudah banyak pembeli yang sibuk memilih dan memilah ikan segar. Melihat begitu banyak ikan di tambah lagi harganya yang menggiurkan, ingin rasanya membeli seember ikan segar buat orang di rumah. Sambil menyantap sarapan pagi, sebungkus nasi ayam seharga 5k, mata saya terus mengamati hiruk pikuk kegiatan di TPI. Saya juga melihat beberapa orang yang sedang menunggu kapal nelayan yang mereka tumpangi berangkat.  Kapal – kapal itu adalah kapal yang mengangkut penduduk dari dan ke pulau Komodo / Rinca (Bukan ke objek wisatanya, tapi ke perkampunganya). Di sebrang lautan terlihat pulau – pulau kecil yang menjadi landmark Labuan Bajo. Di tengah laut juga banyak kapal – kapal mewah yang membawa wisatawan menuju kawasan Taman Nasional Komodo.

Siang menjelang, hendra sudah kembali ke penginapan. kami langsung cek out dan berjalan ke kantor Kanawa Island Resort (Pulau Kanawa) yang akan kami singgahi dan menjadi  tempat kami menginap  malam ini, jaraknya tak terlalu jauh dari penginapan restu bundo, sekitar  500 meter ke arah pelabuhan (ke arah  Selatan). Sesampainya di kantor kanawa, kami langsung melapor kalau kami sudah melakukan pemesanan beberapa hari sebelumnya , dan kami di persilahkan menunggu bersama para pengunjung lain, sebelum ahirnya kami akan di berangkatkan menuju pulau surga,,
Kanawa....I’m Comeing......

Selasa, 16 Oktober 2012

Transit di Kota Ende



Puas menikmati pagi yang indah di puncak kelimutu, saya kembali ke desa moni. Sekitar pukul 9 pagi saya sampai di depan penginapan,suasana di  depan penginapan sudah begitu ramai dengan lalu lalang penduduk moni yang tumpah ruah memenuhi  sudut jalan raya dan bangunan di depan penginapan yang kemarin begitu sepi. Kata mbak penjaga rumah makan, ini adalah hari pasar  (Seminggu dua kali ; senin dan jumat), jadi semua orang akan pergi  ke pasar dengan berbagai tujuan, ada yang berjualan dan ada juga  yang membeli kebutuhan pokok mereka. Teringat tanaman jeruk yang begitu lebat dan siap panen yang kemarin sore kami lihat saat perjalanan menuju moni dari ende. Saya dan hendra  mulai mencari ke dalam pasar berharap bisa menemukan buah yang sudah membuat saya ngiler  itu.
Pasar di Moni
Di pasar ini bisa di bilang sangat lengkap (untuk ukuran di sana) karena di pasar ini tersedia berbagai barang, dari mulai sayur –sayuran yang begitu nampak segar sampai bumbu dapur instan berbungkus kemasan dengan merek yang sudah tak asing lagi, dari perlengkapan mandi sampai perlengkapan bayi, dari  kain tradisonal sampai barang elektronik. Menyenangkan rasanya bisa melihat hiruk pikuk di pasar tradisional ini, meski saya tak mendapatkan apa yang saya cari (lapak yang berjualan jeruk sudah habis). Saya dan hendra berhenti di sebuah lapak yang menjual kopi flores curah,tanpa basa basi beberapa takar kopi flores  berhasil mengisi sudut kosong di tas kami. Puas melihat – lihat dusut pasar, saya kembali ke penginapan untuk cek out (karena kami punya beberapa tempat yang akan di kunjungi di ende jadi harus cekout lebih cepat). Kami  berpamitan sama pemilik penginapan dan mba penjaga rumah makan , sebelum pulang  kami sempatkan untuk melihat sebentar sebuah bangunan tradisonal yang tepat berada di belakang penginapan yang kami tempati. Dari depan penginapan kami menaiki mobil elf yang menuju ende.

Seperti sebelumnya, perjalanan ende-moni atau sebaliknya  begitu menegangkan dan memanjakan mata, namun karena badan sangat lelah, saya lebih banyak memejamkan mata sepanjang perjalanan (tak sanggup menahan kantuk).   Satu  jam berlalu, mobil elf yang kami tumpangi berhenti di tujuan terahir, yaitu terminal Rawareke (tarif dari moni ke ende 15k / orang ).  Dari terminal Rawareke  saya agak sedikit binggung bagai mana menuju objek wisata yang ingin kami datangi (Pantai Anabhara, Desa Adat Wologai dan Rumah pengasingan Bung karno). Di tengah rasa bingung, kami putuskan untuk menepi dulu ke sebuah warung membeli beberapa cemilan dan bertanya akses ke tempat – tempat yang ingin kami datang pada ibu pemilik warung, si ibu pemilik warung berkata kalau  Pantai Anabhara dan Desa Adat Wologai jauh dari sini dan kami harus menggunakan otokol (mobil truk yang bagian belakangnya di modifikasi menjadi kursi – kursi kayu untuk penumpang) , si ibu menunjuk otokol yang mulai bergerak meninggalkan terminal dan berkata “ itu otokol terahir menuju Pantai Anabhara, nanti kalian minta di turun saja di Pantai”, dan saat saya bertanya apakah perjalanannya bisa pulang pergi? Si ibu menjelaskan lagi kalau kami harus menginap di sana, karena sekarang sudah siang dan akses kendaraan dari sana ke ende sudah tak ada lagi kalau sore. Dengan berat hati saya harus mencoret Pantai Anabhara dan Desa Adat Wologai dari list tempat yang harus kami kunjungi di ende (dan hal ini akan menjadi alasan saya untuk mengunjungi ende lagi suatu saat nanti #amin). Sekarang tinggal bertanya bagaimana menuju Rumah pengasingan Bung karno, si ibu langsung menghentikan angkot yang lewat dan berkata sama supir  untuk mengantarkan kami ke rumah pengasingan  bung karno. Terimakasih banyak ibu atas bantuanya.
Taman Renungan Bung Karno
Perjalanan dari terminal Rawareke menuju ke rumah pengasingan  bung karno tak terlalu lama, hanya sekitar 20 menit saja.  Tapi sayang, sesampainya kami di di depan rumah , rumah itu sedang di pugar, kami tak jadi turun  dan kami meminta pak supir untuk mengantarkan  kami ke taman renungan bungkarno  yang letaknya tak terlalu jauh dari sana. Dengan membayar ongkos 5k / orang (seharusnya 3k/ orang), saya dan hendra di turunkan tepat di depan  taman renungan bung karno. Taman ini sendiri nampak kurang terawat, di sini terdapat pohon sukun yang menjadi tempat perenungan bung karno dan dari perenunganya itu bung  karno berhasil merumuskan  5 butir pancasila yang seperti sekarang kita kenal.  Selain pohon sukun, di sini juga terdapat patung bung karno yang berdiri gagah. Di kejauhan terlihat gunung meja dan sementara di sisi lain terlihat bangunan pelabuhan dan laut lepas.  Sebenarnya jujur saja saya masih kebingungan dengan keadaan kami saat ini, karena semua tempat yang ingin kami datangi tak mampu kami jangkau dan jika mampu pun kondisinya lagi di tutup. Belum lagi kami masih harus berpikir bagaimana besok kami pulang ke labuhan bajo  atau mau tidur di mana kami malam ini. Ah,, pikiran – pikiran itu membuat saya semakin bingung. Tapi tuhan memang baik, dia mempertemukan saya dengan kak wempy pemuda asli ende yang kami temui di depan taman renungan bung karno. Dari obrolan ringan dan perkenalan singkat itu kami jadi semakin akrab, dan kak wempy dengan baik hati mau mengantar kami mencari penginapan murah yang jaraknya sekitar 1 KM dari tempat ini.


Dari taman renungan kami berjalan menyusuri jalanan raya, melewati sebuah gereja tua dengan patung yesus besar di atas bola dunia, melewati pertigaan yang menuju pelabuhan IPI terus berjalan sampai ahirnya kami sampai di sebuah penginapan yang bernama “Nurjaya Hotel” yang terletak di jalan A Yani no 20 (No tlf : 0381 21252 ). Fyi: Selain hotel Nurjaya, di sini juga terdapat beberapa hotel murah lainya, dan di dekat gereja pun ada hote.
Untuk menginap di sini kami harus merogoh kocek 60k/ kamar untuk 2 orang dengan dua buah tempat tidur dan kamar mandi di luar, tidak terlalu buruk lah kamarnya. Tanpa basa basi saya langsung merebahkan badan di kasur, perjalanan kurang lebih 1KM dengan backpack yang cukup berat cukup menguras tenaga. Sementara itu kak wempy berpamitan karena masih ada acara yang lain, Terimakasih banyak kak wempy atas kebaikannya.

Sunset

Setelah istirahat sebentar dan menyegarkan badan setelah 2 hari gak mandi (di moni dingin jadi gak kuat mandi,hahaha), kami berjalan ke taman renungan bung karno lagi, tapi kali ini bukan taman renungan bung karno yang  kami ingin lihat, melainkan sunset cantik di pelabuhan Ende yang akan memanjakan sore kami. Sesampainya di pelabuhan, banyak orang – orang yang sedang memancing sementara  di pantai pasir hitam  banyak anak – anak yang sedang bermain bola. Dari pelabuhan kami putuskan untuk turun ke pantai pasir hitam.


Pulau Ende di Kejauhan
Di sebrang laut terlihat pulau ende dengan  latar sunset. Semakin lama langit semakin gelap, matahari hilang di telan laut dan meninggalkan siluet jingga, sungguh sunset yang indah. Saat langit benar – benar gelap, kami putuskan untuk kembali ke penginapan, namun sebelumnya kami sempatkan mengunjungi beberapa toko penjual souvenir, tapi harga yang di tawarkan cukup mahal, jadi saya harus cukup puas hanya  melihat-lihat kain tenun dengan motip warna warni begantung di etalase dan tak berpindah ke kantong belanjaan.
Sesampainya di penginapan kami langsung tertidur pulas, karena besok pagi kami harus bangun pagi – pagi dan melakukan perjalanan jauh kembali ke LabuhanBajo. Kota ende tak seburuk yang saya kira saat pertama  saya memasuki kota ini, masih banyak tempat yang ingi  saya kunjungi di kota ini jadi suatu saat saya ingin ke sini lagi, dan semoga bisa terlaksana,, Amin.

Minggu, 14 Oktober 2012

Kelimutu, Mahakarya Tuhan yang Luar Biasa Indah




Bagi saya kelimutu adalah bagian terindah dari trip kali ini, melebihi ke inginan saya untuk mengunjungi pulau komodo atau destinasi lain di Flores. Entah kenapa, kelimutu begitu membetot perhatian saya sejak saya mengenalnya di selembar uang kertas  Rp. 5000 sedari saya duduk di bangku  sekolah dasar.  Saat beberapa teman  saya  berhasil menyambangi danau – danau cantik di kelimutu, saya semakin berhasrat untuk mendatanginya bagai mana pun caranya. Dan disinilah kuasa tuhan yang berperan.  Kita cukup bermimpi dan berdoa, biarkan allah yang mengatur segalanya , dan dia akan memuluskan jalan kita. Jadi jangan pernah berhenti bermimpi ya, apapun itu.

***

Semburat fajar belum nampak jelas saat saya sudah rapi dan siap dengan backpack saya. Pagi ini saya dan hendra harus meninggalkan riung , meninggalkan keluarga dan teman baru yang begitu baik, demi melihat keindahan danau tiga warna (Danau Kelimutu) yang berada di kabupaten Ende. Sebelum melepas kepergian kami, ibu , bapak serta niuk menemani kami sarapan sembari menunggu bis yang akan menjemput kami  (no telpon supir bis (Pak Gerord) 081353990737 ). Pagi ini kami sarapan roti khas flores (lupa namanya)  dan secangkir kopi flores yang nikmat. Pukul 6 pagi, bis yang akan kami tumpangi sudah menjemput ke depan rumah, dengan berat hati saya harus meninggalkan keramahan niuk dan keluarga. Perjalanan dari Riung ke Ende akan kami tempuh selama kurang lebih 4 jam. Mobil bis yang kami tumpangi berukuran lebih kecil dari bis yang membawa kami ke Riung dari Bajawa, mobil ini serupa dengan mobil elf. Selain bis (elf)  di sini juga terdapat damri yang siap mengantar kita ke Ende, tapi damri tidak tersedia setiap hari, dan kebetulan hari itu damri sedang tidak beroprasi. Dari Riung mobil yang kami tumpangi  akan melewati Mbay.  Perjalanan dari Mbay menuju Ende adalah perjalanan yang begitu indah, namun karena posisi duduk yang kurang nyaman dan pandangan saya  terhalang , jadi saya harus puas memejamkan mata saja menikmati perjalanan ini. Memasuki wilayah ende, bis akan berjalan persis  di pinggir pantai yang  memiliki bebatuan berwarna hijau tua. Dari kejauhan, pulau ende juga nampak begitu anggun di sebrang lautan.
Tak begitu lama, mobil yang kami tumpangi sampai di terminal Ndao (Terminal untuk mobil – mobil yang akan ke arah barat; Bajawa,Ruteng atau Labuan Bajo). Berdasarkan petunjuk dari ayah dan ibunya niuk, kami jangan turun di terminal ini, dan kami  meminta sama supirnya untuk di turunkan di terminal / tempat  mobil yang akan ke moni. Untuk hal itu  kami harus memberi uang “jatah” pada ojek – ojek (kata salah satu penumpang sih mereka itu ojek) yang gaya nya sok  preman yang mangkal di terminal itu, 3k / orang.  Tak perlu bingung bagaimana memberi jatah pada preman – preman itu, karena begitu mobil mampir di terminal, maka  akan ada banyak orang yang masuk ke mobil dan meminta jatah itu, dan jangan kaget jika mendengar adu argumen antara “si Preman”  dan para penumpang lokal yang menolak memberi uang pada para preman (Kalau saya jadi orang lokal, saja  juga pasti akan menolak, toh ini bukan sesuatu yang resmi). Saya sama sekali tak mengerti kenapa ada sistem seperti ini, dan hal ini membuat suasana tak begitu nyaman, sehingga  menciptakan kesan pertama kota Ende  yang buruk bagi saya. Lepas dari cengkraman para preman,mobil bis yang kami tumpangi menurunkan kami di sebuah pertigaan yang entah apa namanya (di pertigaan ini tertulis petunjuk arah ke Maumere dan ke IPI), setelah sebelumnya kami membayar tarif bis sebesar 40k / orang. Pak supir berkata kalau kami bisa menunggu bis yang akan ke Maumere (bis ini akan melewati Moni) di sini. Karena perut  sudah sangat keroncongan , kami berjalan menyusuri jalan raya ke arah Maumere  sembari berharap menemukan penjual nasi. Kami terus berjalan sampai kami melewati sebuah pagar bertuliskan  “Terminal Wolowona”  yang sepertinya sudah berganti menjadi sebuah pasar tradisional, karena di terminal ini sudah tak ada mobil lagi melainkan lapak – lapak pedagang. Meski pun ini adalah kawasan pasar tradisonal, tapi kami cukup kesulitan menemukan warung makan, jika ada pun pasti sedang tutup. Kami terus berjalan sembari berharap bis ke Maumere akan segera lewat. Sampai ahirnya kami di serbu oleh beberapa bapak – bapak yang berlarian ke arah kami, mereka bertanya kemana tujuan kami. Begitu mengetahui tujuan kami adalah Moni, mereka langsung menawarkan harga 40k/ orang untuk mengantarkan kami sampai ke moni. Setelah tawar menawar, ahirnya kami sepakat di harga 25k/ orang (seharusnya bisa lebih murah 5k/ orang). Kami di suruh menunggu sebentar  di sebuah pangkalan mobil  travel (mobil – mobil ini khusus mobil travel yang ke arah timur ; Mumere dan  Larantuka )  sembari  menunggu penumpang lain.
Penginapan Sao Ria
Kurang lebih 30 menit kami menunggu, ahirnya mobil travel yang kami tumpangi mulai meninggalkan pangkalan dan membelah jalanan Ende  menuju Moni.  Jalanan menuju Moni sama halnya seperti jalan – jalan di daratan flores lain, berliku – liku dan berbatasan dengan jurang. Di sepanjang jalan kami melihat begitu banyak tanaman jeruk yang sudah siap di panen. Daerah sekitar Moni memang merupakan penghasil buah – buahan di flores (kata bapaknya niuk) , jadi tak heran jika melihat lapak – lapak penjual buah – buahan segar di sepanjang jalan menuju Moni. Saat mobil mulai mendekati kawasan Moni, salah seorang penumpang menunjuk ke sebuah gapura  di persimpangan jalan dan  dia berkata itu adalah jalan ke Kelimutu. Sontak kami menoleh,di dekat persimpangan ini terdapat penginapan mewah (baca; mahal) yaitu Kelimutu Eco Lodge  yang di kelola oleh pemerintah.  Setelah berkendara selam kurang lebih 1 jam, kami di turunkan di sebuah rumah makan bernama Nusa Bunga (kami yang meminta di turunkan di sini pada pak supir). Pemilik rumah makan Nusa Bunga ini memiliki sebuah penginapan yang harganya sesuai dengan kantong kami (nama penginapannya juga Nusa Bunga). Sayang, hari itu semua kamar di penginapan Nusa Bunga sedang penuh. Tapi untunglah mba – mba penjaga rumah makan Nusa Bunga memberitahu kami kalau di sebelah rumah makan ini juga ada sebuah penginapan, namanya Home stay Jhon (Sao Ria). Si mba penjaga rumah makan mengantarkan kami pada pemilik penginapan, om jhon namanya. Walau penginapan ini terlihat sangat kumuh dan usang, tapi tak apa lah, toh kami hanya menginap semalam saja dan harga yang di tawarkan cukup  murah,  60k / malam untuk 2 orang  dengan fasilitas dua buah tempat tidur  dan kamar mandi di dalam.
Selesai dengan urusan penginapan, kami kembali ke rumah makan nusa bunga untuk mengisi perut yang sedari pagi belum terisi. Harga makan di sini bisa di bilang  mahal, tapi tak apalah toh kami binggung mau mencari makanan di mana lagi. Untunglah mba – mba yang menjaga rumah makan ini begitu baik, jadi kami senang makan di tempat ini. Kami mengobrol banyak hal dengan si mba penjaga rumah makan, dari mulai cerita beliau yang baru beberapa bulan bekerja di rumah makan ini, sampai asal desa dia. Si mba juga memiliki 2 orang anak yang masih kecil – kecil, dan salah satunya adalah  anak laki – laki yang baru berumur sekitar 5 tahun yang sedari tadi memperhatikan kami. Anak ini begitu menggemaskan (Jadi pengen punya anak,haha), dia begitu berani dan tak malu untuk mendekati kami, senyumnya yang manis  dan kegemarannya di foto di depan kamera membuat kami sangat senang memotretnya.

Si mba menayakan apakah kami akan ke danau Kelimutu, dan apakah kami sudah memiliki kendaraan (ojek) yang akan mengantarkan kami ke sana. Setelah mengetahu kalau kami belum mempunyai kendaraan ke sana, si mba menawarkan untuk mencarikan ojek / motor untuk kami pakai. Si mba pun mengenalkan sodaranya pada kami, dia ini yang akan menyewakan motornya untuk kami. Sempat terjadi penawaran yang cukup alot sebelum ahirnya kami deal di harga 80k (sudah termasuk bensin).  Dari rumah makan, kami menjelajah sudut kota moni yang lain dengan berjalan kaki. Sampai ahirnya kami bertemu dengan hamparan sawah dan kebun sayur. Di sana saya melihat seorang nenek renta sedang mengambil air untuk menyirami kubis – kubis yang dia tanam. Merasa tak tega (ke inget nenek saya), saya berinisiatif membantu si nenek untuk mengambil air, sampai ahirnya anaknya datang untuk membantu si nenek. Dari kebun sayur, kami kembali ke penginapan dan beristirahat lebih awal, karena besok sebelum subuh saya harus sudah berangkat ke kelimutu.

***

Pukul 3:30 pagi saya sudah terjaga dan sudah siap berangkat ke kelimutu. Sarung tangan, kaos kaki dan jaket tebal sudah melekat di tubuh saya. Bermodal motor sewaan yang sudah kami persiapkan tadi malam, kami mulai melaju di jalanan moni yang super dingin ke arah Kelimutu. Sebenarnya kami sama sekali tak paham jalan yang menuju ke kelimutu, kami hanya tahu di mana letak gerbang masuk menuju Kelimutu.  Tapi untunglah, jalan ke kelimutu hanya ada satu jalan (tidak ada percabangan jalan) jadi ini sedikit mempermudah perjalanan kami. Motor terus hendra pacu menyusuri jalanan yang begitu sepi. Kondisi jalanan yang berliku dengan tanjakan – tanjakan curam serta tak ada penerangan jalan membuat hendra begitu berhati-hati mengendarai motor. Saat hendra sibuk mencermati jalanan yang akan di lalui motor,  saya juga sibuk dan terkesima melihat taburan bintang yang begitu memukai . Subuh itu langit begitu cerah, tak ada awan setitikpun, hal ini semakin memperjelas penglihatan saya akan ribuan bintang yang bertaburan di pekatnya malam Flores. Dari kejauhan saya melihat kerlap – kerlip lampu  di moni yang sudah nampak begitu jauh.   Setelah menempuh perjalanan yang bisa di bilang exstrim selama kurang lebih 30 menit, kami sampai di pos pintu masuk menuju kelimutu. Subuh itu baru kami berdua saja wisatawan yang tiba di pos, bapak  penjaga pos menyarankan kami  menunggu wisatawan lain untuk menuju kelimutu (tempat parkir yang jaraknya masih sekitar 2-3 KM lagi dari pos masuk ini).  Setelah membayar tiket masuk seharga 2,5k / orang dan mengisi daftar kunjungan , kami putuskan untuk melaju ke kelimutu dan tak menunggu wisatawan lain (Ngapain coba nungguin orang lain,heheh. Tapi saya tahu niat bapak itu baik, mungkin dia takut kami kenapa –kenapa).
Jalan menuju puncak kelimutu (gambar di ambil pas pulang)
Sesampainya di parkiran, di tengah remang – remang subuh kami di hampiri oleh ibu penjual minuman dan makanan kecil. Saya dan hendra  memesan mie instan dalam cup untuk mengganjal perut dan memberi sedikit energi untuk tracking menuju danau kelimutu yang masih  sekitar 1 KM lagi. Tak begitu lama, bermunculan lah para wisatawan lain yang hampir semuanya adalah wisatawan asing. Udara di sini sangat dingin, jadi jangan lupa membawa jaket tebal dan meminum obat masuk angin sebelum naik biar badan hangat. Dari parkiran, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah tertata rapi. Danau pertama yang kami temui adalah Danau Tiwu Ata Polo, matahari belum muncul saat saya sampai di tepi danau. Saya tak terlalu  lama di danau ini karena belum ada yang bisa di lihat (semua serba hitam), nanti saja saya melihatnya pas perjalanan pulang. Tujuan saya selanjutnya adalah  puncak tertinggi di sini (Puncak gunung Kelimutu), di mana ada bangunan berupa sebuah tugu yang menyajikan pemandangan ke semua danau yang ada di Kelimutu.  Semburat cahaya jingga berpadu cantik dengan langit gelap subuh itu. Sadar waktu semakin siang, saya semakin mempercepat langkah menuju puncak  Kelimutu. Jalana yang kami lewati sudah berupa  jalanan  beton  dengan beberapa puluh anak tangga. Semakin lama, langkah kaki semakin berat dan napas mulai menderu – deru (maklumlah sudah lama tak pernah tracking lagi,hehe). Tepat sebelum matahari muncul, saya  sudah duduk manis di undakan tangga tugu sembari menyaksikan momen – momen yang selalu di tunggu para wisatawan (Sunrise).

Sunrise
Dengan anggunnya matahari muncul di balik awan tipis, perlahan tapi pasti bola jingga kecil itu  semakin besar  dan semakin banyak memancarkan sinarnya. Di depan saya tersaji  2 buah danau yang menakjubkan, kedua danau itu bernama Danau Tiwu Nuamuri Koofat dan  Danau Tiwu Ata Polo, sementara di belakang saya terhampar satu danau yang saat itu warnanya Hitam pekat  bernama Danau Tiwu Ata Bupu. Hari itu Danau Tiwu Nuamuri Koofat sedang berwarna biru muda sementara Danau Tiwu Ata Polo  sedang berwarna biru kehijauan. Warna air di danau ini memang selalu berubah setiap waktu, kadang merah,hijau,putih dan masih banyak variasi warna lainya. Pagi  itu perasaan senang bercampur rasa haru dan sukur menggelayut di benak saya. Bagaimana tidak, karena saya bisa menginjakan kaki  di sebuah mahakarya tuhan yang luar biasa ini. Tak henti – hentinya saya mengucap rasa sukur bisa mengunjungi tempat  yang sudah lama saya impikan ini.  Matahari mulai meninggi, beberapa wisatawan mulai turun dan meninggalkan tempat ini, sementara saya dan hendra masih betah berlama – lama di sini.  Berbagai sudut keindahan danau  sudah saya potret tapi tetap saja rasanya tak puas, ingin rasanya tetap di sini sampai matahari terbenam, namun apa boleh buat siang ini kami harus ke Ende dan keadaan di sini pun tidak memungkinkan, karena  jika sudah siang  akan turun kabut dan menutup permukaan danau. Dengan rasa sedikit tak rela, saya mulai turun meninggalkan puncak, warna  Danau Tiwu Ata Polo  yang  tadi subuh tak terlihat, kini nampak begitu indah dengan warnanya yang menarik.  Sesampainya di parkiran, kami langsung tancap gas kembali ke desa moni. Terimakasih tuhan untuk pagi yang begitu luar biasa ini di tempat yang begitu luas biasa juga.

Narsis dikit ora nopo-nopo yo, hehe
Tiwu Ata Polo